Tuesday, July 16, 2013

Overthinking

Dunia kerja sesungguhnya telah menjadi sesuatu yang jauh dari apa yang pernah saya bayangkan.

Di umur 5 tahun, melihat seorang wanita dengan setelan blouse dan rok sedengkul disertai sepatu hak tinggi berwarna hitam adalah sosok yang elegan. Wanita itu pekerjaannya seperti apa ya? Pikir saya ketika itu. Saya pun mulai bermain parodi “guru dan murid” dengan kakak perempuan saya. Tentunya, saya berperan sebagai guru. Karena bagi saya, wanita dengan menenteng-nenteng map berisi kertas-kertas yang tidak saya mengerti isinya itu adalah wanita yang tahu segalanya—selalu dicari banyak orang di tempatnya bekerja.

Di umur 10 tahun, saya mulai melihat bayang-bayang wanita dengan setelan seperti itu sebagai wanita yang luar biasa sibuk dengan berpuluh-puluh aktivitas dan kesibukan di kantor. Saya pun mulai berangan-angan agar setelah lulus dari sekolah menengah atas, saya dapat masuk ke universitas ternama saat itu. Bagi saya di umur 10 tahun, memiliki angan-angan seperti itu adalah sesuatu yang keren. Bagaimana tidak, teman-teman sebaya saya pada saat itu berangan-angan dapat bertemu artis idolanya, meski saya yakin mereka tidak paham darimana asal idola mereka saat itu. Ada yang bercita-cita ingin menjadi dokter, sayangnya ia tidak dapat mengikuti pelajaran ilmiah dengan baik, saya hanya dapat tersenyum simpul. Saat itu, pendidikan adalah hal yang paling dapat saya banggakan. Bagi saya, ketika orang (khususnya wanita) dianugerahi otak yang hebat untuk berpikir dan mendapatkan peringkat tinggi di sekolah akan menjadi sukses suatu saat nanti. Perlahan-lahan saya pun mulai mengejar impian kecil saya—menjadi pintar.

Di umur 15 tahun, masa depan terlihat begitu terang. Bahkan karena terlalu terang, saya tidak yakin akan menjadi apa suatu saat nanti ketika saya lulus sekolah—karena cahaya yang terlalu menyilaukan itu. Jika saya diberikan satu lembar kertas dimana saya harus menuliskan sebanyak tiga buah cita-cita terbesar saya, mungkin saya akan membuatnya menjadi sepuluh, lima belas, atau bahkan dua puluh. Saya yakin, begitu lulus nanti, bekal yang saya dapat di sekolah pariwisata akan dapat saya terapkan semuanya. Tentu saja, peringkat tetap saya kejar. Tidak ada lagi yang bisa saya banggakan selain peringkat yang saya raih di sekolah, baik itu pelajaran di kelas maupun di luar kelas. Namun pendidikan tidak lagi membuat saya merasa terjamin akan menjadi sosok wanita yang pernah saya impikan terdahulu—wanita karir.

Perjalanan pun dimulai ketika lulus sekolah, namun impian yang begitu besar runtuh hanya karena adanya ketidakcocokan saya dengan management kantor. Berapa pun alasan yang saya utarakan perihal keluarnya saya dari kantor terdahulu tidak akan dapat dimengerti oleh siapapun. Biar bagaimana pun, resign dari suatu perusahaan tidak membutuhkan alasan konkret. Setiap orang mempunyai hak untuk mencoba peruntungan karirnya di tempat lain. Setidaknya itu yang pernah saya baca. Oleh karena itu, anggap lah saya mengundurkan diri dari perang sebelum semua bom, dinamit, anak panah dan segala bentuk senjata diberikan seluruhnya kepada saya untuk saya action sendiri.

Segalanya runtuh saat itu.

Beralihnya saya dari dunia pariwisata seakan-akan menjadi sesuatu yang menakutkan, seperti dinding tinggi yang harus saya panjat dan ketika saya akan melompat turun ada banyak sekali duri, paku, dan pisau yang menatap dalam diam—menunggu waktu agar tubuh saya menghempas dengan hebat ke tanah.

Bekerja dengan dibayang-bayangi penyesalan bukanlah sesuatu yang mudah. Pekerjaan dan lingkungan baru yang nyaman kadang membuatmu justru menjadi tersesat—semakin jauh dari apa yang kamu bayangkan—kamu impikan. Melalui impian saya yang terdahulu, jalur yang saya tempuh, dan yang saya jalani, sukses menenggelamkan saya pada penyesalan yang lebih dalam. Memikirkan hal agar menjadi sukses secara karir dan finansial menarik diri saya kepada suatu titik nostalgia—depresi.

Di saat seperti ini lah yang membuat saya berpikir, ternyata apa yang selama ini saya pikir—bahwa sukses akan begitu mudahnya saya capai ketika orang itu pintar—tidak sepenuhnya benar. Terkadang orang yang terlalu memikirkan segalanya baik-baik akan semakin takut untuk mengambil langkah berpijak ke depan. Dan situasi seperti ini membuat saya tidak dapat berpikir lebih luas.

Ditambah lagi, tidak ada nya aktivitas luar kantor yang saya geluti. Berada di zona nyaman sungguh tidak menyenangkan bagi saya. Saya merasa tidak berkembang, stuck. Tidak tahu akan dibawa kemana diri kita oleh pekerjaan yang sekarang dan pendapatan yang pas-pasan membuat saya ingin  berontak—ingin mendapatkan yang lebih. Siapa yang tidak ingin di umurnya yang muda sudah mendapatkan kemapanan secara kepribadian dan finansial? Gaji pas-pasan, pengeluaran cukup banyak, ditambah lagi misi saya untuk kuliah suatu saat nanti, dan pengeluaran mendadak yang di luar dugaan, membuat saya semakin jauh dari angan-angan sukses secara finansial.

Pernikahan juga menjadi salah satu hal yang akhir-akhir ini saya pikirkan. Jujur saja, pernikahan adalah urutan terakhir dari hal-hal yang saya khawatirkan setelah karir dan finansial. Bagi saya, pasangan hidup tidak perlu dikhawatirkan. Selama saya membina iman dengan baik, memiliki orang tua yang dapat mengerti saya, serta mapan secara kepribadian dan finansial, masalah jodoh bukanlah menjadi perkara. Namun kemungkinan jika mendapatkan pasangan hidup yang tidak dapat mengerti segala bentuk kesibukan serta diri saya yang tidak dapat lepas dari hidup bersosialisasi, membuat diri saya kembali terperosok pada kekhawatiran yang sama yang saya alami pada karir dan finansial. Tentunya semua wanita ingin memiliki pasangan hidup yang dapat mengerti dirinya luar dalam dan menerima dirinya apa adanya, dalam hal ini, menerima diri saya secara karakteristik dan kebiasaan saya.

Pasangan hidup bukanlah hanya seseorang yang menemani kita dalam suka dan duka, namun bagi wanita, terutama bagi saya, pasangan hidup adalah seorang pemimpin dalam kehidupan berumah tangga. Ketika saya yang secara kepribadian adalah sosok yang cukup dominan namun kerapkali tidak dapat mengatakan “tidak” tentu akan menjadi suatu beban hidup tambahan apabila menjalani hubungan dengan seseorang yang tidak dapat menerima karakteristik saya. Seorang suami yang bersedia memiliki istri yang sukses secara karir, finansial, mapan dalam hal berpikir, dan dominan, tetapi dari segi prinsip tidak dapat mengambil keputusan yang baik dan tidak dapat membina hidupnya sendiri, tentu akan tertekan karenanya. Salah-salah jika tidak kuat secara iman, suami bisa pergi meninggalkan istri karena minder dirinya tidak bisa menjadi pemimpin yang baik. Atau malah, jika suami adalah orang yang terlalu ‘let it flow’ akan terlena dengan kemapanan si istri. Lalu apa makna sebenarnya suami – istri itu, kalau suami cenderung mengikuti istri saja?

Di umur belum mencapai sembilan belas tahun, hal yang saya pikirkan adalah yang seharusnya dipikirkan oleh perempuan di umur dua puluh lima tahun. Siksaan batin menggerogoti diri saya tanpa henti setiap harinya.

Apa beban pikiran ini normal? Maksud saya, normalkah perempuan yang belum mencapai umur sembilan belas tahun memikirkan hal ini? Uang, pekerjaan, pernikahan. Normal kah? Atau hal ini disebabkan oleh pubertas yang terlalu dini?

I haven’t got the answer… yet…
I wish I were not over-thinking.



 ***

No comments:

Post a Comment