Thursday, October 24, 2013

Loyalty or Trapped-in-a-Comfort-Zone ?

Ada beberapa hal yang mengusik pikiran saya akhir-akhir ini. Salah satu di antaranya adalah : alasan mengapa banyak orang memilih untuk bertahun-tahun berada dalam suatu perusahaan yang sama.

Saya bukan ahli dalam hal mempelajari karyawan-karyawati maupun psikologis para pekerja. Hanya saja topik ini merupakan salah satu bahan pembicaraan yang menarik berikut membuat saya penasaran apakah pendapat saya ini hanya berupa kesubjektifan belaka atau banyak yang sepaham dengan saya.

Semua pekerja memiliki hak untuk memilih profesi yang akan dijalani. Begitu menyenangkan ketika seseorang memiliki profesi yang sesuai dengan bakat serta minat. Bekerja mulai bertransformasi menjadi sebuah hobi, sebuah ketertarikan tersendiri dengan sensasi gairah yang muncul di setiap tantangan baru yang dihadapi. Keluarga, teman sepermainan, kolega, pasangan hidup--hampir semua orang menjadi paham ketika melihat seseorang begitu betah lama di suatu perusahaan.

Lalu bagaimana dengan mereka yang bekerja hanya berdasarkan ingin mendapatkan penghasilan? Atau orang-orang yang berprofesi menjadi sosok yang tidak mereka inginkan hanya karena tidak memiliki skill yang cukup untuk mencapai profesi yang diminati? Bekerja tidak hanya menjadi beban, tetapi juga menjadi sesuatu yang menakutkan--membuat paranoid. Kerapkali jenuh yang sewajarnya datang sekali-sekali, menjadi muncul terlalu sering. Terjebak di dalam profesi yang tidak diinginkan.

Selain profesi, adapun membicarakan tentang management perusahaan. Profesi sesuai dengan bakat dan minat, gaji oke, management yang cocok dengan kepribadian si pekerja, tentu akan menjadi pertimbangan yang berat bagi si pekerja bila dia memutuskan untuk mengundurkan diri. Apa lagi yang orang itu cari di perusahaan lain jika sudah mendapatkan apa yang ia mau?

Mengundurkan diri menjadi hal yang mudah bagi si pekerja apabila profesi yang dijalani tidak sejalan dengan bidang yang ia minati, gaji tidak mencukupi, dan management yang tidak mendukung jalannya pekerjaan. Mengundurkan diri tidak sepenuhnya membutuhkan alasan riil dari si pekerja. Semua pekerja memiliki hak untuk mengundurkan diri--apapun alasannya. Pada kenyataannya, perusahaan tidak begitu mengambil pusing akan alasan mengapa Anda mengundurkan diri.

Tidak jarang kita menemukan sekelompok orang-orang yang masih saja bertahan lama di suatu perusahaan, namun dalam menjalankan tugas mengeluh gaji tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari dan tabungan; mengeluh management memaksakan begitu banyak pekerjaan untuk diselesaikan sekaligus; lemburan tidak dibayar; atasan tidak menghargai karyawan/karyawatinya dll.

Ada beberapa alasan mengapa sekelompok pekerja 'betah' meski banyak sekali kekurangan yang mereka rasakan, di antaranya :

1. Rekan Kerja yang Kompak
Siapa yang tidak senang memiliki rekan kerja yang asik? Bekerja bersama-sama sekian tahun membuat kita saling mengetahui karakter satu sama lain dan lama-lama menjadi terbiasa dengan cara kerja rekan kerja tsb. Kita menjadi membatasi diri kita sendiri bahwa hanya rekan kerja kita yang itu lah yang mampu mengikuti cara kerja kita. Kita menjadi lupa, bahwa di awal pun semua tidak saling mengenal. Kekompakan tim terbentuk seiringnya waktu, dengan komunikasi yang terbuka dan tidak saling menjatuhkan satu sama lain. Hal ini menjadi salah satu faktor karier seseorang stuck di suatu perusahaan.

2. Kurang Percaya Diri Memasuki Lingkungan Baru
Alih-alih mengakui hal ini, banyak yang menggantinya dengan kata-kata "loyalitas kepada perusahaan". Ya kita memang mengerjakan segala sesuatunya terlaksana dengan rapi dan bertanggung jawab, ya kita memang menjalankan segala perintah atasan tanpa basa-basi, ya kita memang pulang malam (meski terkadang lembur tidak dibayar?) demi perusahaan yang menggaji kita, ya kita memang sudah mendapatkan banyak apresiasi atas pekerjaan yang kita lakukan (mencoba mengingat-ingat kapan terkahir kali mendapat apresiasi). Namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada faktor di bawah alam sadar kita bahwa kita takut untuk beradaptasi dengan lingkungan, cara kerja, dan orang-orang baru. Sudah ahlinya kita di bidang yang sebelumnya, membuat kita sedikit 'ciut' bila harus melakukan pekerjaan baru. Poin ini bersangkutan dengan poin yang pertama. Ya kita loyal, tetapi apakah perusahaan melihat keloyalan kita? Tetap saja, pada akhirnya yang dilihat adalah hasil. Hasil bukan saja senantiasa untuk menaikkan prestise perusahaan, tetapi juga diri kita sendiri. Apakah dengan semua itu kita 'dinaikkan' juga? Salah-salah kita terlihat seperti robot yang mengerjakan segala sesuatu tanpa menyadari bahwa diri kita sedang berlari di tempat.

3. Minim Network
Bekerja di dalam suatu perusahaan bukan berarti kita hanya dituntut untuk saling mengenal dan memahami pekerjaan orang lain di divisi yang berbeda, tetapi juga memperbanyak relasi dengan teman-teman di perusahaan lain. Hal ini berguna karena kita diajarkan untuk melihat sebuah job desk tidak dari sudut pandang kita sendiri atau melihat dari sudut pandang perusahaan dimana kita bekerja saja. Harus selalu diingat bahwa tidak selalu perusahaan tempat kita bekerja sekarang adalah satu-satunya yang memiliki sebuah divisi terbaik dibanding divisi yang sama di perusahaan lain. Pengetahuan-pengetahuan yang kita dapat dari orang yang bekerja di perusahaan lain senantiasa membuat kita juga tidak terlihat 'bodoh' atau kurang berpengalaman ketika kita berbincang-bincang dengan orang lain.

4. Tidak Mengejar Karier
Orang-orang yang masuk dalam kategori ini contohnya adalah ibu rumah tangga. Bekerja hanya dengan tujuan mendapatkan penghasilan seadanya, bukan untuk menjadi pebisnis atau orang kantoran.

5. Terbayang-bayangi Kewajiban
Kewajiban sebagai pencari nafkah dalam keluarga membuat kita menjadi berpikir berulang-ulang kali jika ingin mengundurkan diri. Apakah dengan pekerjaan yang selanjutnya gaji dapat lebih besar dibanding yang sekarang, padahal pekerjaan yang sekarang berjalan cukup mulus. Bekerja menjadi tidak enjoy karena dikejar-kejar perasaan untuk selalu membiayai orang-orang di balik punggung kita.

Poin-poin di atas hanyalah beberapa faktor yang terbesit dalam benak saya belakangan ini. Jika saya rangkum, kelima faktor di atas dapat disimpulkan menjadi sebuah Comfort Zone. Tidak begitu tepat juga dikatakan Comfort Zone, karena di dalam faktor-faktor tersebut pasti ada yang membuat otak rasanya panas. Hanya saja banyak sekali orang-orang yang masih menahan-nahan dirinya untuk berkembang dan bahkan maju di perusahaan lain karena tidak berani melangkah, masih nyaman dengan kondisi yang sekarang.


Jadi, berada di poin yang mana kah kita sekarang? :)
Be brave to step out from your comfort zone!

Sunday, September 29, 2013

people don't change. their priority does.

Hi, what's up?
I'm sure it's not a very long time to look after this blog since the latest post.
Basically I love writing anyway, so let's start this irregularity post...


There were so many things which have happened in last few months. But nope, I'm not gonna tell you what it's all about. It's definitely driving me insane to tell you those.


You know, some things are better left untold.



The things that have happened, those were most likely a-final-exam-to-get-a-better-score for me.
From someone I could find myself hurt, from someone I could do sacrifices.
From someone I could be so coward, but in the end I found myself being brave to take a decision.


One new thing that I've learned.
Honesty is a risk, it's good to tell. But sometimes some people don't realize that when a person gets his/her nerve to be honest as those people asked, honesty will not change anything without action. It will be just a phrase with no meaning. 
What we have to do is appreciate them with their honesty and try to keep it be continuously.
If we can't appreciate it, how can people be honest with us??
And mark, an honesty still requires a proper way to be shouted out.

Nah...
I'm not a kind of spiteful creature anyway.



I literally do not think that I'm changed because of some issues... I just got my level up


So, why did I get my level up?
Because I've learned. I've realized that mistakes should not repeatedly happen.
I won't be exceedingly happy to be seen by others that I didn't learn from my mistakes.
Yeah I know some of you don't give a shit of other people's thought.
But remember... "When I do a mistake, everyone remembers. When I do right, no one remembers."
Everyone surely has their own past and mistakes. What everyone should do is to learn from mistakes and get their level up.


Actually, a community helps you to grow up. Uh-oh, please allow me to clarify : I mean, a good purpose community helps you to grow up. In a positive way.
You'll never find yourself have grown up without a community. They help you to be more open-minded, to see things in other point of views.
That's what I believe. That's why I want to be myself who love getting know many people.


Someday I will find the one who deeply understands of my steps I've been through and leads me to step further and better.



***

Tuesday, July 16, 2013

Overthinking

Dunia kerja sesungguhnya telah menjadi sesuatu yang jauh dari apa yang pernah saya bayangkan.

Di umur 5 tahun, melihat seorang wanita dengan setelan blouse dan rok sedengkul disertai sepatu hak tinggi berwarna hitam adalah sosok yang elegan. Wanita itu pekerjaannya seperti apa ya? Pikir saya ketika itu. Saya pun mulai bermain parodi “guru dan murid” dengan kakak perempuan saya. Tentunya, saya berperan sebagai guru. Karena bagi saya, wanita dengan menenteng-nenteng map berisi kertas-kertas yang tidak saya mengerti isinya itu adalah wanita yang tahu segalanya—selalu dicari banyak orang di tempatnya bekerja.

Di umur 10 tahun, saya mulai melihat bayang-bayang wanita dengan setelan seperti itu sebagai wanita yang luar biasa sibuk dengan berpuluh-puluh aktivitas dan kesibukan di kantor. Saya pun mulai berangan-angan agar setelah lulus dari sekolah menengah atas, saya dapat masuk ke universitas ternama saat itu. Bagi saya di umur 10 tahun, memiliki angan-angan seperti itu adalah sesuatu yang keren. Bagaimana tidak, teman-teman sebaya saya pada saat itu berangan-angan dapat bertemu artis idolanya, meski saya yakin mereka tidak paham darimana asal idola mereka saat itu. Ada yang bercita-cita ingin menjadi dokter, sayangnya ia tidak dapat mengikuti pelajaran ilmiah dengan baik, saya hanya dapat tersenyum simpul. Saat itu, pendidikan adalah hal yang paling dapat saya banggakan. Bagi saya, ketika orang (khususnya wanita) dianugerahi otak yang hebat untuk berpikir dan mendapatkan peringkat tinggi di sekolah akan menjadi sukses suatu saat nanti. Perlahan-lahan saya pun mulai mengejar impian kecil saya—menjadi pintar.

Di umur 15 tahun, masa depan terlihat begitu terang. Bahkan karena terlalu terang, saya tidak yakin akan menjadi apa suatu saat nanti ketika saya lulus sekolah—karena cahaya yang terlalu menyilaukan itu. Jika saya diberikan satu lembar kertas dimana saya harus menuliskan sebanyak tiga buah cita-cita terbesar saya, mungkin saya akan membuatnya menjadi sepuluh, lima belas, atau bahkan dua puluh. Saya yakin, begitu lulus nanti, bekal yang saya dapat di sekolah pariwisata akan dapat saya terapkan semuanya. Tentu saja, peringkat tetap saya kejar. Tidak ada lagi yang bisa saya banggakan selain peringkat yang saya raih di sekolah, baik itu pelajaran di kelas maupun di luar kelas. Namun pendidikan tidak lagi membuat saya merasa terjamin akan menjadi sosok wanita yang pernah saya impikan terdahulu—wanita karir.

Perjalanan pun dimulai ketika lulus sekolah, namun impian yang begitu besar runtuh hanya karena adanya ketidakcocokan saya dengan management kantor. Berapa pun alasan yang saya utarakan perihal keluarnya saya dari kantor terdahulu tidak akan dapat dimengerti oleh siapapun. Biar bagaimana pun, resign dari suatu perusahaan tidak membutuhkan alasan konkret. Setiap orang mempunyai hak untuk mencoba peruntungan karirnya di tempat lain. Setidaknya itu yang pernah saya baca. Oleh karena itu, anggap lah saya mengundurkan diri dari perang sebelum semua bom, dinamit, anak panah dan segala bentuk senjata diberikan seluruhnya kepada saya untuk saya action sendiri.

Segalanya runtuh saat itu.

Beralihnya saya dari dunia pariwisata seakan-akan menjadi sesuatu yang menakutkan, seperti dinding tinggi yang harus saya panjat dan ketika saya akan melompat turun ada banyak sekali duri, paku, dan pisau yang menatap dalam diam—menunggu waktu agar tubuh saya menghempas dengan hebat ke tanah.

Bekerja dengan dibayang-bayangi penyesalan bukanlah sesuatu yang mudah. Pekerjaan dan lingkungan baru yang nyaman kadang membuatmu justru menjadi tersesat—semakin jauh dari apa yang kamu bayangkan—kamu impikan. Melalui impian saya yang terdahulu, jalur yang saya tempuh, dan yang saya jalani, sukses menenggelamkan saya pada penyesalan yang lebih dalam. Memikirkan hal agar menjadi sukses secara karir dan finansial menarik diri saya kepada suatu titik nostalgia—depresi.

Di saat seperti ini lah yang membuat saya berpikir, ternyata apa yang selama ini saya pikir—bahwa sukses akan begitu mudahnya saya capai ketika orang itu pintar—tidak sepenuhnya benar. Terkadang orang yang terlalu memikirkan segalanya baik-baik akan semakin takut untuk mengambil langkah berpijak ke depan. Dan situasi seperti ini membuat saya tidak dapat berpikir lebih luas.

Ditambah lagi, tidak ada nya aktivitas luar kantor yang saya geluti. Berada di zona nyaman sungguh tidak menyenangkan bagi saya. Saya merasa tidak berkembang, stuck. Tidak tahu akan dibawa kemana diri kita oleh pekerjaan yang sekarang dan pendapatan yang pas-pasan membuat saya ingin  berontak—ingin mendapatkan yang lebih. Siapa yang tidak ingin di umurnya yang muda sudah mendapatkan kemapanan secara kepribadian dan finansial? Gaji pas-pasan, pengeluaran cukup banyak, ditambah lagi misi saya untuk kuliah suatu saat nanti, dan pengeluaran mendadak yang di luar dugaan, membuat saya semakin jauh dari angan-angan sukses secara finansial.

Pernikahan juga menjadi salah satu hal yang akhir-akhir ini saya pikirkan. Jujur saja, pernikahan adalah urutan terakhir dari hal-hal yang saya khawatirkan setelah karir dan finansial. Bagi saya, pasangan hidup tidak perlu dikhawatirkan. Selama saya membina iman dengan baik, memiliki orang tua yang dapat mengerti saya, serta mapan secara kepribadian dan finansial, masalah jodoh bukanlah menjadi perkara. Namun kemungkinan jika mendapatkan pasangan hidup yang tidak dapat mengerti segala bentuk kesibukan serta diri saya yang tidak dapat lepas dari hidup bersosialisasi, membuat diri saya kembali terperosok pada kekhawatiran yang sama yang saya alami pada karir dan finansial. Tentunya semua wanita ingin memiliki pasangan hidup yang dapat mengerti dirinya luar dalam dan menerima dirinya apa adanya, dalam hal ini, menerima diri saya secara karakteristik dan kebiasaan saya.

Pasangan hidup bukanlah hanya seseorang yang menemani kita dalam suka dan duka, namun bagi wanita, terutama bagi saya, pasangan hidup adalah seorang pemimpin dalam kehidupan berumah tangga. Ketika saya yang secara kepribadian adalah sosok yang cukup dominan namun kerapkali tidak dapat mengatakan “tidak” tentu akan menjadi suatu beban hidup tambahan apabila menjalani hubungan dengan seseorang yang tidak dapat menerima karakteristik saya. Seorang suami yang bersedia memiliki istri yang sukses secara karir, finansial, mapan dalam hal berpikir, dan dominan, tetapi dari segi prinsip tidak dapat mengambil keputusan yang baik dan tidak dapat membina hidupnya sendiri, tentu akan tertekan karenanya. Salah-salah jika tidak kuat secara iman, suami bisa pergi meninggalkan istri karena minder dirinya tidak bisa menjadi pemimpin yang baik. Atau malah, jika suami adalah orang yang terlalu ‘let it flow’ akan terlena dengan kemapanan si istri. Lalu apa makna sebenarnya suami – istri itu, kalau suami cenderung mengikuti istri saja?

Di umur belum mencapai sembilan belas tahun, hal yang saya pikirkan adalah yang seharusnya dipikirkan oleh perempuan di umur dua puluh lima tahun. Siksaan batin menggerogoti diri saya tanpa henti setiap harinya.

Apa beban pikiran ini normal? Maksud saya, normalkah perempuan yang belum mencapai umur sembilan belas tahun memikirkan hal ini? Uang, pekerjaan, pernikahan. Normal kah? Atau hal ini disebabkan oleh pubertas yang terlalu dini?

I haven’t got the answer… yet…
I wish I were not over-thinking.



 ***

Tuesday, April 9, 2013

Part of another new me.


Hello my dearest forgotten blog... I miss you actually.
Gw rindu bagaimana dulu gw menuangkan tulisan apa pun di blog ini. Mulai dari masalah pribadi, postingan-postingan tentang dunia jepang gw, dan postingan absurd lainnya. Bahkan tanpa gw sadari alamat blogger gw ini sudah sangat alay dan membuat gw merinding sampe ke tulang.

But anyway... Udah terlalu banyak kejadian yang terjadi dari terakhir kali gw memposting di blog ini. Begitu banyak kejadian dan pengalaman yang membawa diri gw menjadi Lala yang sekarang, Lala yang semakin membawa banyak perubahan diri dari waktu ke waktu.

Gw ngga tau harus sharing darimana. Maybe apa yang sebenarnya mau gw tuangkan di sini sudah terlalu melampaui batas. Seandainya dibuat novel, mungkin menghabiskan 4 parts semacam Twilight Saga. Dan sebuah sequel yang masih misterius. Hahaha. Agak hiperbola ya?

Singkat cerita, gw udah resign dari Dwidaya Tour per 10 Oktober 2012 lalu.
Yah, panjang detail ceritanya. Yang jelas, gw masuk baik-baik, keluar pun baik-baik. Mereka pun bisa terima alasan gw (sedikit ngga yakin nih dengan hal yang satu ini).
Sekarang gw udah kerja di Lion Air sebagai Marketing. Maybe it will sound a little bit exaggerating kalau menyebutkan position. Di name card sih Marketing Executive, tapi job desk nya ya ngga eksekutif, percayalah. Resminya sudah gabung di salah satu Airlines terbesar di Indonesia ini per 1 November 2012.

Basically, my main job is to prospect to corporates as many as possible to offer a Corporate E-Ticket with Lion Air. Tapi yah, culture di Lion Air yang sedikit abstract menurut gw ini sangat complicated mulai dari pegawai, job desk, position, semuanya. Well, ngga mau cerita terlalu dalam mengenai pekerjaan. Segala pekerjaan yang digeluti selalu ada plus dan minus. Gaji di sini bisa tergolong sangat rendah. Gw akui, karena gw merasa sangat ngga nutup dengan gaji sekian. Tapi yah, disyukuri aja. Toh gw kerja disini berniat mencuri ilmu dan pengalaman, lalu networks.

I believe my efforts will be paid someday.
Ora et Labora.

And then...
I think my heart has also been growing up.

Setelah terjadinya ini dan itu selama gw bekerja di Lion Air, maksud gw, dalam konteks sebuah hubungan antara gw dengan some guys, dan berujung dengan gw menarik diri gw menjauh atau bahkan akhir yang menyedihkan, hati gw jadi lebih kuat, I dunno why

Entah tepatnya kapan, hati gw seakan-akan punya pagar, seolah-olah menjaga rumahnya rapat-rapat supaya kalau ada serangan dari luar, ngga akan langsung menyerang bagian dalam, tapi runtuh di bagian luarnya aja.

I feel so, tired of everything.
I feel so fed up of bullshits.
I am sick of it.
You know?

Seandainya hati gw dibedah, pasti gw udah empati banget sama luka-luka di dalamnya. Saat orang-orang ngga tau apa fungsinya ‘hati’ mereka yang berharga, gw udah merasakan rasanya sakit. Saat orang-orang mulai tau, gw udah lelah akan semua itu. Gw rasa gw tumbuh bukan pada saat yang tepat.

Ngga usah lah gw bahas siapa-siapa aja itu. Cukup jadi memori aja. Memori di kepala ngga akan bisa di-delete begitu aja dan masuk ke recycle bin kemudian benar-benar dihapus keberadaannya. Gw cuma bisa petik hikmah dari semua yang gw alami, supaya bisa membawa gw menjadi diri gw yang lebih baik lagi.

But, thanks buat dia.

Thanks karena udah benar-benar kasih liat gw apa itu rasa sakit yang sesungguhnya. Gw belum pernah ngerasain sakit sesakit itu. Gw udah mengkhianati diri gw sendiri demi dia. Dan meski pada endingnya gw tetap bukan menjadi pilihan, thank you. Dari awal gw tau gw akan sakit. Harusnya hati gw punya telinga, yang bisa denger teriakan otak. Namun dari semuanya, gw belajar, hati gw pun belajar. Hati gw juga seakan-akan tumbuh mata, dia mulai bisa mengenal mana yang bisa menghargai keberadaannya apa adanya, dan mana yang ngga. Pada akhirnya, orang itu adalah tipe orang yang terakhir.

Dan yakinlah, dia hanya menghancurkan pagar yang berdiri lama itu. Dia ngga akan pernah bisa menggapai bagian dalam rumah. Dia masih belum cukup berharga untuk bisa menghancurkan isi rumah itu. Dan gw bersyukur.

Ini air mata pertama dan terakhir untuk dia.
Mungkin Tuhan ngga pernah kasih gw nangis selama gw sama dia atau di depan dia langsung karena Tuhan udah tau dia ngga pantes gw tangisin, bahwa hati gw cukup berharga untuk bangkit, bahwa dengan air mata ini gw benar-benar ikhlas akan apa yang udah terjadi antara gw dan dia, bahwa air mata ini bukan air mata penyesalan, bukan air mata minta belas kasihan.

Ini air mata kemenangan.

Dan dari kemenangan ini, gw jauh lebih tegar.
Dari kemenangan ini, mata gw semakin terbuka lebar.

Dan akhirnya kemenangan itu menggiring gw ke tepian.
Seperti bumi yang bulat, membawa kita ke tempat semula kita berpijak. Gw di bawa lagi ke sosok orang yang sekilas pernah gw tau, orang yang sekilas gw temuin, orang yang sekilas gw denger ceritanya dari salah satu temen gw, orang yang ngga pernah gw sangka akan membawa gw ke tempat ini.
Gw ngga sadar kapan tepatnya orang ini mulai mendominasi isi kepala gw, maybe orang ini dari kecil udah pinter main monopoli. Orang ini aneh, dia ibarat racun. Dengan mudahnya menyebar ke seluruh lapisan mulai dari kulit hingga vena.

Perlahan, gw lupa betapa dalam dan dinginnya laut kosong itu.

Gw mulai merasakan hangat.. seperti halnya bagian laut dangkal yang terkena sinar matahari, kau tahu?

Dari sekian banyak orang, dari sekian banyak pengorbanan yang orang-orang itu lakukan demi memenangkan hati gw, kenapa harus dia?
Kenapa dia, yang notabene adalah mantan dari temen gw sendiri?
Kenapa dengan kalimat demi kalimat yang terucap, segalanya menjadi gelap dan cuma dirinya yang terang di sana?

Gw merasakan gelitik nostalgia yang aneh.

Ada tanda tanya besar di sana.

Dan ibarat magnet, gw tertarik ke dalamnya.

Gw semakin merasakan bahwa ada sesuatu di balik tanda tanya itu.

Dari segalanya yang dia tuangkan ke gw, begitu mudahnya gw merasakan bahwa dia tulus, bahwa dia pun merasakan pahit yang sama sebelumnya, bahwa dia pun lelah akan semua yang terjadi di belakangnya, bahwa dia sadar segalanya ngga akan berakhir happy ending kalau ngga dimulai dengan orang yang tepat, waktu yang tepat, moment yang tepat.

Gw pun mulai masang kacamata kuda, ngga peduli apa yang dia alami dulu, ngga peduli seburuk apa pemikiran orang tentang dia, ngga mengacuhkan segala kemungkinan-kemungkinan buruk kecil kalau suatu saat nanti gw akan sama dia. Semua ketakutan gw alih-alih berubah jadi besi. Gw mulai merasa kuat, mulai merasa yakin.

Dan apakah akan berujung dengan rasa percaya?

Gw pengen tau..
Dia udah sanggup buat gw menepi, apakah nantinya gw kembali masuk ke laut dalam yang gelap, atau justru sebaliknya, membawa gw melihat sisi lain dari dalamnya lautan, bahwa disana ngga hanya ada kekosongan yang membuat gw merasakan dingin...

#NP - I Won't Give Up by Jayesslee.