Thursday, October 24, 2013

Loyalty or Trapped-in-a-Comfort-Zone ?

Ada beberapa hal yang mengusik pikiran saya akhir-akhir ini. Salah satu di antaranya adalah : alasan mengapa banyak orang memilih untuk bertahun-tahun berada dalam suatu perusahaan yang sama.

Saya bukan ahli dalam hal mempelajari karyawan-karyawati maupun psikologis para pekerja. Hanya saja topik ini merupakan salah satu bahan pembicaraan yang menarik berikut membuat saya penasaran apakah pendapat saya ini hanya berupa kesubjektifan belaka atau banyak yang sepaham dengan saya.

Semua pekerja memiliki hak untuk memilih profesi yang akan dijalani. Begitu menyenangkan ketika seseorang memiliki profesi yang sesuai dengan bakat serta minat. Bekerja mulai bertransformasi menjadi sebuah hobi, sebuah ketertarikan tersendiri dengan sensasi gairah yang muncul di setiap tantangan baru yang dihadapi. Keluarga, teman sepermainan, kolega, pasangan hidup--hampir semua orang menjadi paham ketika melihat seseorang begitu betah lama di suatu perusahaan.

Lalu bagaimana dengan mereka yang bekerja hanya berdasarkan ingin mendapatkan penghasilan? Atau orang-orang yang berprofesi menjadi sosok yang tidak mereka inginkan hanya karena tidak memiliki skill yang cukup untuk mencapai profesi yang diminati? Bekerja tidak hanya menjadi beban, tetapi juga menjadi sesuatu yang menakutkan--membuat paranoid. Kerapkali jenuh yang sewajarnya datang sekali-sekali, menjadi muncul terlalu sering. Terjebak di dalam profesi yang tidak diinginkan.

Selain profesi, adapun membicarakan tentang management perusahaan. Profesi sesuai dengan bakat dan minat, gaji oke, management yang cocok dengan kepribadian si pekerja, tentu akan menjadi pertimbangan yang berat bagi si pekerja bila dia memutuskan untuk mengundurkan diri. Apa lagi yang orang itu cari di perusahaan lain jika sudah mendapatkan apa yang ia mau?

Mengundurkan diri menjadi hal yang mudah bagi si pekerja apabila profesi yang dijalani tidak sejalan dengan bidang yang ia minati, gaji tidak mencukupi, dan management yang tidak mendukung jalannya pekerjaan. Mengundurkan diri tidak sepenuhnya membutuhkan alasan riil dari si pekerja. Semua pekerja memiliki hak untuk mengundurkan diri--apapun alasannya. Pada kenyataannya, perusahaan tidak begitu mengambil pusing akan alasan mengapa Anda mengundurkan diri.

Tidak jarang kita menemukan sekelompok orang-orang yang masih saja bertahan lama di suatu perusahaan, namun dalam menjalankan tugas mengeluh gaji tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari dan tabungan; mengeluh management memaksakan begitu banyak pekerjaan untuk diselesaikan sekaligus; lemburan tidak dibayar; atasan tidak menghargai karyawan/karyawatinya dll.

Ada beberapa alasan mengapa sekelompok pekerja 'betah' meski banyak sekali kekurangan yang mereka rasakan, di antaranya :

1. Rekan Kerja yang Kompak
Siapa yang tidak senang memiliki rekan kerja yang asik? Bekerja bersama-sama sekian tahun membuat kita saling mengetahui karakter satu sama lain dan lama-lama menjadi terbiasa dengan cara kerja rekan kerja tsb. Kita menjadi membatasi diri kita sendiri bahwa hanya rekan kerja kita yang itu lah yang mampu mengikuti cara kerja kita. Kita menjadi lupa, bahwa di awal pun semua tidak saling mengenal. Kekompakan tim terbentuk seiringnya waktu, dengan komunikasi yang terbuka dan tidak saling menjatuhkan satu sama lain. Hal ini menjadi salah satu faktor karier seseorang stuck di suatu perusahaan.

2. Kurang Percaya Diri Memasuki Lingkungan Baru
Alih-alih mengakui hal ini, banyak yang menggantinya dengan kata-kata "loyalitas kepada perusahaan". Ya kita memang mengerjakan segala sesuatunya terlaksana dengan rapi dan bertanggung jawab, ya kita memang menjalankan segala perintah atasan tanpa basa-basi, ya kita memang pulang malam (meski terkadang lembur tidak dibayar?) demi perusahaan yang menggaji kita, ya kita memang sudah mendapatkan banyak apresiasi atas pekerjaan yang kita lakukan (mencoba mengingat-ingat kapan terkahir kali mendapat apresiasi). Namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada faktor di bawah alam sadar kita bahwa kita takut untuk beradaptasi dengan lingkungan, cara kerja, dan orang-orang baru. Sudah ahlinya kita di bidang yang sebelumnya, membuat kita sedikit 'ciut' bila harus melakukan pekerjaan baru. Poin ini bersangkutan dengan poin yang pertama. Ya kita loyal, tetapi apakah perusahaan melihat keloyalan kita? Tetap saja, pada akhirnya yang dilihat adalah hasil. Hasil bukan saja senantiasa untuk menaikkan prestise perusahaan, tetapi juga diri kita sendiri. Apakah dengan semua itu kita 'dinaikkan' juga? Salah-salah kita terlihat seperti robot yang mengerjakan segala sesuatu tanpa menyadari bahwa diri kita sedang berlari di tempat.

3. Minim Network
Bekerja di dalam suatu perusahaan bukan berarti kita hanya dituntut untuk saling mengenal dan memahami pekerjaan orang lain di divisi yang berbeda, tetapi juga memperbanyak relasi dengan teman-teman di perusahaan lain. Hal ini berguna karena kita diajarkan untuk melihat sebuah job desk tidak dari sudut pandang kita sendiri atau melihat dari sudut pandang perusahaan dimana kita bekerja saja. Harus selalu diingat bahwa tidak selalu perusahaan tempat kita bekerja sekarang adalah satu-satunya yang memiliki sebuah divisi terbaik dibanding divisi yang sama di perusahaan lain. Pengetahuan-pengetahuan yang kita dapat dari orang yang bekerja di perusahaan lain senantiasa membuat kita juga tidak terlihat 'bodoh' atau kurang berpengalaman ketika kita berbincang-bincang dengan orang lain.

4. Tidak Mengejar Karier
Orang-orang yang masuk dalam kategori ini contohnya adalah ibu rumah tangga. Bekerja hanya dengan tujuan mendapatkan penghasilan seadanya, bukan untuk menjadi pebisnis atau orang kantoran.

5. Terbayang-bayangi Kewajiban
Kewajiban sebagai pencari nafkah dalam keluarga membuat kita menjadi berpikir berulang-ulang kali jika ingin mengundurkan diri. Apakah dengan pekerjaan yang selanjutnya gaji dapat lebih besar dibanding yang sekarang, padahal pekerjaan yang sekarang berjalan cukup mulus. Bekerja menjadi tidak enjoy karena dikejar-kejar perasaan untuk selalu membiayai orang-orang di balik punggung kita.

Poin-poin di atas hanyalah beberapa faktor yang terbesit dalam benak saya belakangan ini. Jika saya rangkum, kelima faktor di atas dapat disimpulkan menjadi sebuah Comfort Zone. Tidak begitu tepat juga dikatakan Comfort Zone, karena di dalam faktor-faktor tersebut pasti ada yang membuat otak rasanya panas. Hanya saja banyak sekali orang-orang yang masih menahan-nahan dirinya untuk berkembang dan bahkan maju di perusahaan lain karena tidak berani melangkah, masih nyaman dengan kondisi yang sekarang.


Jadi, berada di poin yang mana kah kita sekarang? :)
Be brave to step out from your comfort zone!