Dunia kerja sesungguhnya telah
menjadi sesuatu yang jauh dari apa yang pernah saya bayangkan.
Di umur 5 tahun, melihat seorang
wanita dengan setelan blouse dan rok sedengkul disertai sepatu hak tinggi
berwarna hitam adalah sosok yang elegan. Wanita itu pekerjaannya seperti apa ya? Pikir saya ketika itu. Saya
pun mulai bermain parodi “guru dan murid” dengan kakak perempuan saya. Tentunya,
saya berperan sebagai guru. Karena bagi saya, wanita dengan menenteng-nenteng map berisi
kertas-kertas yang tidak saya mengerti isinya itu adalah wanita yang tahu
segalanya—selalu dicari banyak orang di tempatnya bekerja.
Di umur 10 tahun, saya mulai
melihat bayang-bayang wanita dengan setelan seperti itu sebagai wanita yang
luar biasa sibuk dengan berpuluh-puluh aktivitas dan kesibukan di kantor. Saya pun
mulai berangan-angan agar setelah lulus dari sekolah menengah atas, saya dapat
masuk ke universitas ternama saat itu. Bagi saya di umur 10 tahun, memiliki
angan-angan seperti itu adalah sesuatu yang keren. Bagaimana tidak, teman-teman
sebaya saya pada saat itu berangan-angan dapat bertemu artis idolanya, meski
saya yakin mereka tidak paham darimana asal idola mereka saat itu. Ada yang
bercita-cita ingin menjadi dokter, sayangnya ia tidak dapat mengikuti pelajaran
ilmiah dengan baik, saya hanya dapat tersenyum simpul. Saat itu, pendidikan
adalah hal yang paling dapat saya banggakan. Bagi saya, ketika orang (khususnya
wanita) dianugerahi otak yang hebat untuk berpikir dan mendapatkan peringkat
tinggi di sekolah akan menjadi sukses suatu saat nanti. Perlahan-lahan saya pun
mulai mengejar impian kecil saya—menjadi pintar.
Di umur 15 tahun, masa depan
terlihat begitu terang. Bahkan karena terlalu terang, saya tidak yakin akan
menjadi apa suatu saat nanti ketika saya lulus sekolah—karena cahaya yang
terlalu menyilaukan itu. Jika saya diberikan satu lembar kertas dimana saya
harus menuliskan sebanyak tiga buah cita-cita terbesar saya, mungkin saya akan membuatnya
menjadi sepuluh, lima belas, atau bahkan dua puluh. Saya yakin, begitu lulus
nanti, bekal yang saya dapat di sekolah pariwisata akan dapat saya terapkan
semuanya. Tentu saja, peringkat tetap saya kejar. Tidak ada lagi yang bisa saya
banggakan selain peringkat yang saya raih di sekolah, baik itu pelajaran di
kelas maupun di luar kelas. Namun pendidikan tidak lagi membuat saya merasa terjamin
akan menjadi sosok wanita yang pernah saya impikan terdahulu—wanita karir.
Perjalanan pun dimulai ketika
lulus sekolah, namun impian yang begitu besar runtuh hanya karena adanya
ketidakcocokan saya dengan management
kantor. Berapa pun alasan yang saya utarakan perihal keluarnya saya dari kantor
terdahulu tidak akan dapat dimengerti oleh siapapun. Biar bagaimana pun, resign dari suatu perusahaan tidak
membutuhkan alasan konkret. Setiap orang mempunyai hak untuk mencoba
peruntungan karirnya di tempat lain. Setidaknya itu yang pernah saya baca. Oleh
karena itu, anggap lah saya mengundurkan diri dari perang sebelum semua bom,
dinamit, anak panah dan segala bentuk senjata diberikan seluruhnya kepada saya
untuk saya action sendiri.
Segalanya runtuh saat itu.
Beralihnya saya dari dunia pariwisata
seakan-akan menjadi sesuatu yang menakutkan, seperti dinding tinggi yang harus
saya panjat dan ketika saya akan melompat turun ada banyak sekali duri, paku,
dan pisau yang menatap dalam diam—menunggu waktu agar tubuh saya menghempas dengan
hebat ke tanah.
Bekerja dengan dibayang-bayangi
penyesalan bukanlah sesuatu yang mudah. Pekerjaan dan lingkungan baru yang
nyaman kadang membuatmu justru menjadi tersesat—semakin jauh dari apa yang kamu
bayangkan—kamu impikan. Melalui impian saya yang terdahulu, jalur yang saya
tempuh, dan yang saya jalani, sukses menenggelamkan saya pada penyesalan yang lebih
dalam. Memikirkan hal agar menjadi sukses secara karir dan finansial menarik diri saya kepada suatu titik
nostalgia—depresi.
Di saat seperti ini lah yang
membuat saya berpikir, ternyata apa yang selama ini saya pikir—bahwa sukses
akan begitu mudahnya saya capai ketika orang itu pintar—tidak sepenuhnya benar.
Terkadang orang yang terlalu memikirkan segalanya baik-baik akan semakin takut
untuk mengambil langkah berpijak ke depan. Dan situasi seperti ini membuat saya
tidak dapat berpikir lebih luas.
Ditambah lagi, tidak ada nya
aktivitas luar kantor yang saya geluti. Berada di zona nyaman sungguh tidak
menyenangkan bagi saya. Saya merasa tidak berkembang, stuck. Tidak tahu akan dibawa kemana diri kita oleh pekerjaan yang
sekarang dan pendapatan yang pas-pasan membuat saya ingin berontak—ingin mendapatkan yang lebih. Siapa yang tidak ingin di umurnya yang muda
sudah mendapatkan kemapanan secara kepribadian dan finansial? Gaji pas-pasan,
pengeluaran cukup banyak, ditambah lagi misi saya untuk kuliah suatu saat
nanti, dan pengeluaran mendadak yang di luar dugaan, membuat saya semakin jauh
dari angan-angan sukses secara finansial.
Pernikahan juga menjadi salah
satu hal yang akhir-akhir ini saya pikirkan. Jujur saja, pernikahan adalah
urutan terakhir dari hal-hal yang saya khawatirkan setelah karir dan finansial.
Bagi saya, pasangan hidup tidak perlu dikhawatirkan. Selama saya membina iman
dengan baik, memiliki orang tua yang dapat mengerti saya, serta mapan secara
kepribadian dan finansial, masalah jodoh bukanlah menjadi perkara. Namun kemungkinan
jika mendapatkan pasangan hidup yang tidak dapat mengerti segala bentuk
kesibukan serta diri saya yang tidak dapat lepas dari hidup bersosialisasi,
membuat diri saya kembali terperosok pada kekhawatiran yang sama yang saya
alami pada karir dan finansial. Tentunya semua wanita ingin memiliki pasangan
hidup yang dapat mengerti dirinya luar dalam dan menerima dirinya apa adanya,
dalam hal ini, menerima diri saya secara karakteristik dan kebiasaan saya.
Pasangan hidup bukanlah hanya
seseorang yang menemani kita dalam suka dan duka, namun bagi wanita, terutama bagi
saya, pasangan hidup adalah seorang pemimpin dalam kehidupan berumah tangga. Ketika
saya yang secara kepribadian adalah sosok yang cukup dominan namun kerapkali
tidak dapat mengatakan “tidak” tentu akan menjadi suatu beban hidup tambahan
apabila menjalani hubungan dengan seseorang yang tidak dapat menerima
karakteristik saya. Seorang suami yang bersedia memiliki istri yang sukses
secara karir, finansial, mapan dalam hal berpikir, dan dominan, tetapi dari
segi prinsip tidak dapat mengambil keputusan yang baik dan tidak dapat membina
hidupnya sendiri, tentu akan tertekan karenanya. Salah-salah jika tidak kuat
secara iman, suami bisa pergi meninggalkan istri karena minder dirinya tidak
bisa menjadi pemimpin yang baik. Atau malah, jika suami adalah orang yang
terlalu ‘let it flow’ akan terlena
dengan kemapanan si istri. Lalu apa makna
sebenarnya suami – istri itu, kalau suami cenderung mengikuti istri saja?
Di umur belum mencapai sembilan belas
tahun, hal yang saya pikirkan adalah yang seharusnya dipikirkan oleh perempuan
di umur dua puluh lima tahun. Siksaan batin menggerogoti diri saya tanpa henti
setiap harinya.
Apa beban pikiran ini normal? Maksud saya, normalkah perempuan yang belum mencapai umur sembilan belas tahun
memikirkan hal ini? Uang, pekerjaan, pernikahan. Normal kah? Atau hal ini
disebabkan oleh pubertas yang terlalu dini?
I haven’t got the answer… yet…
I wish I were not over-thinking.
No comments:
Post a Comment