Hello my dearest forgotten blog... I miss
you actually.
Gw rindu bagaimana dulu gw menuangkan
tulisan apa pun di blog ini. Mulai dari masalah pribadi, postingan-postingan
tentang dunia jepang gw, dan postingan absurd lainnya. Bahkan tanpa gw sadari
alamat blogger gw ini sudah sangat alay dan membuat gw merinding sampe ke
tulang.
But anyway... Udah terlalu banyak kejadian
yang terjadi dari terakhir kali gw memposting di blog ini. Begitu banyak kejadian dan pengalaman yang
membawa diri gw menjadi Lala yang sekarang, Lala yang semakin membawa banyak
perubahan diri dari waktu ke waktu.
Gw ngga tau harus sharing darimana. Maybe
apa yang sebenarnya mau gw tuangkan di sini sudah terlalu melampaui batas.
Seandainya dibuat novel, mungkin menghabiskan 4 parts semacam Twilight Saga.
Dan sebuah sequel yang masih misterius. Hahaha. Agak hiperbola ya?
Singkat cerita, gw udah resign dari
Dwidaya Tour per 10 Oktober 2012 lalu.
Yah, panjang detail ceritanya. Yang jelas,
gw masuk baik-baik, keluar pun baik-baik. Mereka pun bisa terima alasan gw
(sedikit ngga yakin nih dengan hal yang satu ini).
Sekarang gw udah kerja di Lion Air sebagai
Marketing. Maybe it will sound a little bit exaggerating kalau menyebutkan
position. Di name card sih Marketing Executive, tapi job desk nya ya ngga
eksekutif, percayalah. Resminya sudah gabung di salah satu Airlines terbesar di
Indonesia ini per 1 November 2012.
Basically, my main job is to prospect to
corporates as many as possible to offer a Corporate E-Ticket with Lion Air.
Tapi yah, culture di Lion Air yang sedikit abstract menurut gw ini sangat
complicated mulai dari pegawai, job desk, position, semuanya. Well, ngga mau
cerita terlalu dalam mengenai pekerjaan. Segala pekerjaan yang digeluti selalu
ada plus dan minus. Gaji di sini bisa tergolong sangat rendah. Gw akui, karena
gw merasa sangat ngga nutup dengan gaji sekian. Tapi yah, disyukuri aja. Toh gw
kerja disini berniat mencuri ilmu dan pengalaman, lalu networks.
I believe my efforts will be paid someday.
Ora et Labora.
And then...
I think my heart has also been growing up.
Setelah terjadinya ini dan itu selama gw
bekerja di Lion Air, maksud gw, dalam konteks sebuah hubungan antara gw dengan
some guys, dan berujung dengan gw menarik diri gw menjauh atau bahkan akhir
yang menyedihkan, hati gw jadi lebih kuat, I dunno why.
Entah tepatnya kapan, hati gw seakan-akan
punya pagar, seolah-olah menjaga rumahnya rapat-rapat supaya kalau ada serangan
dari luar, ngga akan langsung menyerang bagian dalam, tapi runtuh di bagian
luarnya aja.
I feel so, tired of everything.
I feel so fed up of bullshits.
I am sick of it.
You know?
Seandainya hati gw dibedah, pasti gw udah
empati banget sama luka-luka di dalamnya. Saat orang-orang ngga tau apa
fungsinya ‘hati’ mereka yang berharga, gw udah merasakan rasanya sakit. Saat
orang-orang mulai tau, gw udah lelah akan semua itu. Gw rasa gw tumbuh bukan
pada saat yang tepat.
Ngga usah lah gw bahas siapa-siapa aja
itu. Cukup jadi memori aja. Memori di kepala ngga akan bisa di-delete begitu aja
dan masuk ke recycle bin kemudian benar-benar dihapus keberadaannya. Gw cuma
bisa petik hikmah dari semua yang gw alami, supaya bisa membawa gw menjadi diri
gw yang lebih baik lagi.
But, thanks buat dia.
Thanks karena udah benar-benar kasih liat
gw apa itu rasa sakit yang sesungguhnya. Gw belum pernah ngerasain sakit
sesakit itu. Gw udah mengkhianati diri gw sendiri demi dia. Dan meski pada
endingnya gw tetap bukan menjadi pilihan, thank you. Dari awal gw tau gw akan
sakit. Harusnya hati gw punya telinga, yang bisa denger teriakan otak. Namun
dari semuanya, gw belajar, hati gw pun belajar. Hati gw juga seakan-akan tumbuh
mata, dia mulai bisa mengenal mana yang bisa menghargai keberadaannya apa
adanya, dan mana yang ngga. Pada akhirnya, orang itu adalah tipe orang yang
terakhir.
Dan yakinlah, dia hanya menghancurkan pagar
yang berdiri lama itu. Dia ngga akan pernah bisa menggapai bagian dalam rumah. Dia
masih belum cukup berharga untuk bisa menghancurkan isi rumah itu. Dan gw
bersyukur.
Ini air mata pertama dan terakhir untuk
dia.
Mungkin Tuhan ngga pernah kasih gw nangis
selama gw sama dia atau di depan dia langsung karena Tuhan udah tau dia ngga
pantes gw tangisin, bahwa hati gw cukup berharga untuk bangkit, bahwa dengan
air mata ini gw benar-benar ikhlas akan apa yang udah terjadi antara gw dan
dia, bahwa air mata ini bukan air mata penyesalan, bukan air mata minta belas
kasihan.
Ini air mata kemenangan.
Dan dari kemenangan ini, gw jauh lebih
tegar.
Dari kemenangan ini, mata gw semakin
terbuka lebar.
Dan akhirnya kemenangan itu menggiring gw
ke tepian.
Seperti bumi yang bulat, membawa kita ke
tempat semula kita berpijak. Gw di bawa lagi ke sosok orang yang sekilas pernah
gw tau, orang yang sekilas gw temuin, orang yang sekilas gw denger ceritanya
dari salah satu temen gw, orang yang ngga pernah gw sangka akan membawa gw ke
tempat ini.
Gw ngga sadar kapan tepatnya orang ini
mulai mendominasi isi kepala gw, maybe orang ini dari kecil udah pinter main
monopoli. Orang ini aneh, dia ibarat racun. Dengan mudahnya menyebar ke seluruh
lapisan mulai dari kulit hingga vena.
Perlahan, gw lupa betapa dalam dan
dinginnya laut kosong itu.
Gw mulai merasakan hangat.. seperti halnya
bagian laut dangkal yang terkena sinar matahari, kau tahu?
Dari sekian banyak orang, dari sekian
banyak pengorbanan yang orang-orang itu lakukan demi memenangkan hati gw,
kenapa harus dia?
Kenapa dia, yang notabene adalah mantan
dari temen gw sendiri?
Kenapa dengan kalimat demi kalimat yang
terucap, segalanya menjadi gelap dan cuma dirinya yang terang di sana?
Gw merasakan gelitik nostalgia yang aneh.
Ada tanda tanya besar di sana.
Dan ibarat magnet, gw tertarik ke
dalamnya.
Gw semakin merasakan bahwa ada sesuatu di
balik tanda tanya itu.
Dari segalanya yang dia tuangkan ke gw,
begitu mudahnya gw merasakan bahwa dia tulus, bahwa dia pun merasakan pahit
yang sama sebelumnya, bahwa dia pun lelah akan semua yang terjadi di belakangnya,
bahwa dia sadar segalanya ngga akan berakhir happy ending kalau ngga dimulai
dengan orang yang tepat, waktu yang tepat, moment yang tepat.
Gw pun mulai masang kacamata kuda, ngga
peduli apa yang dia alami dulu, ngga peduli seburuk apa pemikiran orang tentang
dia, ngga mengacuhkan segala kemungkinan-kemungkinan buruk kecil kalau suatu
saat nanti gw akan sama dia. Semua ketakutan gw alih-alih berubah jadi besi. Gw
mulai merasa kuat, mulai merasa yakin.
Dan apakah akan berujung dengan rasa
percaya?
Gw pengen tau..
Dia udah sanggup buat gw menepi, apakah
nantinya gw kembali masuk ke laut dalam yang gelap, atau justru sebaliknya, membawa
gw melihat sisi lain dari dalamnya lautan, bahwa disana ngga hanya ada
kekosongan yang membuat gw merasakan dingin...
No comments:
Post a Comment